Total Tayangan Halaman

Kamis, 07 April 2011

"Reformasi Sistem Peradilan Dalam Penegakan Hukum di Indonesia"

1. Eksistensi dan Peran Peradilan
Keberadaan lembaga peradilan dalam negara modern seperti Indonesia merupakan suatu keniscayaan, karena akan mustahil kekuasaan politik pemerintahan dapat berjalan dengan benar dan adil jika tidak ada lembaga yang berfungsi menegakkan hukum dan mengadili sengketa antara rakyat dengan pemerintah atau antara rakyat dengan anggota masyarakat lainnya. Penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu fungsi kedaulatan sutatu negara. Dalam bukunya Territory The Claiming of Space, David Storey menegaskan tentang peran dan fungsi negara, yaitu: 1. Mengatur perekonomian negara. 2. Menyediakan kebutuhan dan kepentingan publik tterutama kesehatan dan transportasi. 3. Menyediakan perangkat hukum dan menegakkan keadilan bagi rakyatnya. 4. Membela dan menjaga territorial wilayahnya negara dan keamanan rakyatnya dari ancaman pihal luar (Storey, Prentice Hall, 2001: 39). Tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya peradilan yang merdeka dan mandiri. Salah satu tiang penyangga tegaknya kedaulatan negara adalah adanya pengadilan berdaulat. Entitas pengadilan sejatinya merupakan lembaga yang bertugas mencerahkan dan memberi arah perjalanan peradaban bangsa.
Penyelesaian sengketa antara rakyat dengan penguasa atau antara sesama warga yang diproses melalui peradilan yang independen harus menjadi puncak kearifan dan perekat kehesi sosial bagi para pihak yang bersengketa. Perbedaan pendapat dan sengketa hukum merupakan bagian dari dinamika sosial dalam negara modern. Pengadilan di Amerika Serikat telah banyak menegakkan tiang pancang pembangunan peradilan dan peradaban dengan mengeluarkan putusan-putusan yang bernilai bagi kemanusiaan. Antara lain putusan Chief Justice John Marshall (1755-1835), juga ada pututsan-putusan yang dikenal dengan kasus Mallory, Escobedo, Miranda, dll, yang terbukti memberikan kontribusi bagi tata pergaulan sosial-politik dan peradaban bangsa Amerika Serikat.

2. Sistem Peradilan Indonesia
Sebagai suatu sistem, peradilan memiliki sub sistem-sub sistem yang menunjang bekerjanya sistem peradilan yang ada. Sistem Peradilan mempunyai mekanisme yang bergerak menuju kearah pencapaian misi dari hakekat keberadaan peradilan, sebagai suatu lembaga operasionalisasi sistem peradilan menuntut adanya visi yang jelas agar aktivitas atau pelaksanaan peran peradilan berproses secara efektif dan efisien.
Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, memiliki prosedur hukum acara dan yurisdiksinya masing-masing. Tiap-tiap peradilan tersebut sebagai sub sistem-sub sistem dari sistem peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, memiliki kompetensi sesuai dengan domain (ranah) kompetensi keilmuan yang melekat pada predikat peradilan masing-masing.
Sebagaimana ditegaskan dalam Cetak Biru (Blueprint) pembaharuan Mahkamah Agung RI bahwa VISI Mahkamah Agung adalah “mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau, dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik.” Visi Mahkamah Agung tersebut merupakan sinar pemberi arah (moving target) bagi perjalanan lembaga peradilan kedepan. Sebagaimana dikatakan oleh Benjamin B. Tregoe et.al : vision as the framework which guides those choices that determine the nature and direction of an organization. It is what an organization want to be.
Dengan visi yang telah ditetapkan Mahkamah Agung merespon perkembangan dan perubahan dalam (pembaharuan) agar dinamika lembaga peradilan dapat memenuhi tuntutan peran institusional kekuasaan kehakiman yang profesional, berintegritas dan bermartabat. Tuntutan ini menyangkut invisioning change, translating a vision into reality, yang secara sadar menyangkut SDM, kelengkapan sarana, dan evaluasi. Sebagaimana disepakati oleh dunia internasional yang dituangkan dalam Code of Conduct for Law Enforcement Officials (CCLEO) yang diterima oleh Majelis Umum PBB dalam resolusi 34/169, 17 Desember 1979. Resolusi ini menyatakan bahwa hakekat dari fungsi penegakan hukum dalam pemeliharaan ketertiban umum dan cara melaksanakan fungsi tersebut memiliki dampak langsung terhadap mutu kehidupan manusia, sehingga : kekuasaan kehakiman sebagai penegak keadilan yang anggun, perlindungan hukum bagi segenap rakyat Indonesia yang majemuk, penghargaan dan penegakan hak asasi manusia dalam negara hukum yang demokratis dapat terwujud. Dalam upaya merealisasikan kontrol terhadap Hakim yang berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung, telah disusun Pedoman Perilaku Hakim akhir tahun 2006.
Proses penyusunan pedoman ini juga didahului dengan kajian mendalam yang meliputi proses perbandingan terhadap prinsip-prinsip internasional, maupun peraturan-peraturan serupa yang ditetapkan di berbagai negara, antara lain Bangalore Principles. Pedoman perilaku Hakim ini merupakan penjabaran dari ke-10 (sepuluh) prinsip pedoman tersebut yaitu : berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap profesional. Kewibawaan kekuasaan kehakiman menuntut adanya kredibilitas personal dan integritas moral kelembagaan. Untuk itu pemberlakukan pedoman perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi Hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma-norma etika dan adat kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat. Terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, memerlukan adanya pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi Hakim selaku penegak hukum dan sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab Negara memberi jaminan keamanan, kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas anggaran bagi Hakim, dan lembaga pengadilan. Sementara bagi Hakim sendiri, meskipun kondisi-kondisi di atas belum terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.
Kontrol terhadap Hakim dan aparat pengadilan merupakan kebutuhan institusional, agar dinamika organisasi peradilan berjalan melalui alur yang lurus dan menuju arah yang benar. Kontrol etika melalui Pedoman Perilaku Hakim dan Kode Etik Hakim. Kontrol yuridis dari pihak yang berperkara melalui upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK). Kontrol teknik administrasi peradilan, keuangan, sarana dan prasarana melalui pengawasan internal yang melekat dan berkelanjutan. Khusus mengenai akses publik yang menyangkut administrasi peradilan, Mahkamah Agung pada bulan Maret 2007 membentuk Tim Kajian yang merancang konsep peraturan Mahkamah Agung atau yang sejenisnya, agar publik dapat mengakses putusan pengadilan dengan cepat, ketentuan mengenai biaya perkara, informasi tentang perkembangan penanganan perkara. Upaya ini, merupakan bagian dari semangat Mahakamah Agung mewujudkan transparansi administrasi peradilan dan pelaksanaan amanat UU No. 4 Tahun 2004 dan UU No. 5 Tahun 2004.
Dalam upaya mencapai Visi tersebut, Mahkamah Agung menetapkan Misi, yaitu :
Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan undang-undang dan peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat;
Mewujudkan Peradilan yang independen, bebas dari campur tangan pihak lain;
Memperbaiki akses pelayanan di bidang Peradilan kepada masyarakat;
Memperbaiki kualitas input internal pada proses Peradilan;
Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat, dan dihormati;
Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak, dan transparan.
Dalam merealisasikan misi kelembagaannya Mahkamah Agung melakukan langkah-langkah, pilihan-pilihan, prioritas atau strategi agar pelaksanaan tugas dan peran institusi berjalan secara efektif dan efisien. Karena sebagai lembaga yudikatif, Mahkamah Agung akan selalu berhadapan dengan independensi lembaga peradilan/Mahkamah Agung, organisasi lembaga peradilan/Mahkamah Agung, sumber daya manusia pada lembaga peradilan/Mahkamah Agung, akuntabilitas, transparansi dan manajemen informasi di lembaga peradilan/Mahkamah Agung. Pengawasan serta pendisiplinan Hakim dan Hakim Agung, sumber daya keuangan dan fasilitas dan pengelolaan perubahan (pembaharuan) di Lembaga Peradilan/Mahkamah Agung.
Dalam menjalankan misinya yaitu mengayomi rakyat mendapatkan perlindungan hukum dan melayani pencari keadilan memperoleh perlakuan hukum yang adil, Mahkamah Agung secara berkelanjutan membangun institutional culture atau budaya kelembagaan sebagai penegak supremasi hukum. Budaya lembaga peradilan (Judicial Culture) akan mencerminkan citra dari tingkah laku lembaga peradilan yang efektif, efisien, jujur dan transparan serta mandiri. Sebagai pelayanan publik yang memiliki SDM (Sumber Daya Manusia) intelectual capital, lembaga peradilan secara terintegrasi membangun dan membina tanggung jawab dari dalam, merespon pengaduan masyarakat secara proaktif dan menuntut agar setiap Hakim dan tenaga administratif bertanggung jawab atas misi Mahkamah Agung dalam upaya mencapai tujuan institusi sebagai penegak keadilan hukum. Dengan demikian semua personil (tenaga administratif dan Hakim) ikut memikirkan tujuan dan memberi kontribusi mereka dalam proses pelaksanaan misi kelembagaan.

3. Penegakan Hukum di Indonesia
Berbeda dengan di Amerika Serikat perjuangan mewujudkan Independence Judiciary yang memerlukan waktu 100 tahun, Negara Indonesia mewujudkan pengadilan yang lepas dari kekuasaan eksekutif terwujud pada tahun 2004 yang memunculkan peradilan satu atap. Pada umumnya penegakan hukum tidak pernah berproses di ruang hampa. Tetapi selalu terkorelasi dengan variabel-variabel lain, seperti ideologi hukum, karakter hukum formal (acara), kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Juga tidak terlepas dari ideologi penegak hukum, tersedianya fasilitas bantuan hukum serta tingkat pendidikan dan kesadaran hukum masyarakat.
Sistem peradilan Indonesia yang berbeda dengan sistem peradilan di negara Anglo Saxon, membedakan pula prosedur dan dasar penentuan putusan pengadilan. Yang di Anglo Saxon melalui sistem juri dan terikat dengan asas preseden, sedangkan di Indonesia dengan sistem Majelis Hakim dan tidak terikat dengan asas preseden. Masing-masing sistem peradilan tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan, sehingga sebagian otoritas peradilan mempergunakan sistem campuran. Dalam kasus tertentu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sering melakukan eksaminasi terhadap putusan pengadilan di Indonesia, sebagai upaya konstitusi dan tambahan landasan pertimbangan hukum pengadilan dari putusan perkara tertentu yang dieksaminasi dalam hal meningkatkan pemeriksaan pengadilan yang terbuka untuk umum. Secara yuridis Pasal 19 ayat (5) UU No. 4 Tahun 2004 dan pasal 30 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2004 ditegaskan adanya lembaga Dissenting Opinion yang mewajibkan pendapat Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.
Disamping malakukan pelatihan bagi Hakim yang bertugas menangani perkara tertentu seperti menyangkut lingkungan hidup, HAM, anak, korupsi, dan lain-lain. Mahkamah Agung juga membuat Surat Edaran dan Peraturan MA, guna memenuhi kekosongan prosedur atau memperjelas aturan yang kurang applicable. Misalnya Perma No. 1 Tahun 2001 tentang Permohonan Kasasi Perkara Perdata yang tidak memenuhi syarat formal, Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, Perma No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dan lain-lain. Hal itu semua sebagai upaya meningkatkan peran peradilan sesuai dengan yang diamanatkan oleh undang-undang.

4. Kekuasaan Kehakiman dan kewenangan mengadili
Landasan konstitusional dari kekuasaan kehakiman adalah Undang-Undang Dasar l945 sebagaimana ditentukan dalam pasal 20, 21, 24, 24ยช, 24B, 24C dan 25 UUD l945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kewenangan mengadili merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, sedangkan sistem peradilan di negara kita belum menganut integrated criminal justice system sehingga wacana tentang reformasi sistem peradilan dan sistem penegakan hukum dituntut untuk melihat cermin yang lebih luas secara utuh. Dalam sistem yang ada saat ini, lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung tidak dapat mengontrol proses penyidikan dan/atau penuntutan dalam perkara pidana.
Penegakan hukum dalam perkara pidana di negara kita masih menganut asas opportunitas belum legalitas, sehingga jika banyak kasus korupsi besar atau perkara yang bermuatan politis dan menyangkut pihak yang memiliki kekuatan ekonomi yang belum atau tidak diproses sebenarnya merupakan konsekuensi dari sistem penegakan hukum yang sengaja diberlakukan di negara kita. Apalagi sejak kekuasaan orde baru telah diberlakukan feodalisasi hukum dan penegakan hukum, sehingga jika seoarang pejabat akan diproses hukum harus ada izin dari Presiden atau pada zaman Hindia Belanda raus ada persetujuan Gubernur Jenderal. Dengan sistem penegakan hukum yang demikian akan sulit dibedakan antara strategi penyidikan/penuntutan dengan mendeponer perkara demi kepentingan kekuasan politik atau demi kepentingan ekonomi para kroni. Hal ini menunjukkan evaluasi kritis terhadap sistem peradilan menuntut adanya kajian mendalam dan menyeluruh demi tegaknya integritas negara dan prospek masa depan dengan mengaca kepada negara-negara lain yang telah maju atau negara tetangga kita sesama ASEAN.
Kepustakaan
Auerbach, Jerold S., Justice without Law, Resolving Dispute without Lawyers, Oxford university Press, New York, 1983.
Barker, Lucius and Barker, Twiley W. Jr., Freedoms, Courts, Politics, Prentice Hall Inc., Englewood Clifts, New Jersey, 1972.
Belasco, James A., Teaching the Elephant to Dance, Crown Publisher Inc., New York, 1990.
Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung RI, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003.
Curriden, Mark and Philip, Leroy Jr., Contempt of Court, Faber and Faber, New York, 1999.
Fairchild, Erika and Dammer, Harry R., Comparative Criminal Justice Systems, Wadsworth, Thomson Learning, USA, 2001.
Jick, Food D., Managing Change, Irwin Mc. Grow-Hill, Boston, 1993.
Kotter, John P, Loading Change, Harvard Business School Press, Boston, 1996.
Lasser, William, The Limits of Judicial Power, The Supreme Court in American Politics, The University of North Carolina Press, Cape Hill & London, 1988.
Leip, Asia Foundation, USAID, Andai Saya Terpilih, Jakarta, 2002.
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan di Lingkungan Lembaga Peradilan, Jakarta, 2006.
Manan, Bagir, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2005.
Pedoman Perilaku Hakim, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2006.
Puslitbang Hukum dan Peradilan MA RI, Naskah Akademis Court Despute Resolution, Jakarta, 2003.
Thompson, Arthir A., Strickland AS, Strategic Management, Concepts and Cases, Alabama.
Tregoe, Benjamin B., et.al., Vision in Action, New York, 1989.
Penulis adalah Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia
• 3028 reads
reformasi dari atas
Pada 2 July 2007 Pengunjung mengirim komentar:
ibarat ikan busuk maka yang harus dibuang adalah kepalanya dulu. hal serupa berlaku untuk reformasi di tubuh Mahkamah yang "katanya agung". pilihan mereformasi dunia peradilan lebih realistis karena jumlah hakim agung "hanya" 60 orang bila dibandingkan dengan hakim di bawahnya yang berjumlah ribuan. bila suatu hari 60 orang hakim agung yang berada di MA sudah dijabat oleh orang-orang bersih saya yakin terhadap metode reformasi dari atas itu akan berhasil, sudah kita ketahui bersama bagaimana tingkat kepatuhan hakim di berbagai lingkungan peradilan yang berada di bawah MA sangat tinggi. sebagai contoh, bagaimana suatu Surat Edaran bisa memiliki kekuatan mengikat luar biasa. kembali ke MA, ada sebuah inkonsistensi terhadap upaya reformasi Peradilan terutama ketika sekumpulan hakim agung (31 hakim agung) mengajukan judicial review terhadap UU Komisi Yudisial dan UU Kekuasaan Kehakiman di Mahkamah Konstitusi. Ironisnya gagasan pembentukan Komisi Yudisial sebenarnya merupakan "ide" Mahkamah Agung sendiri. cetak biru (blue print) yang dikeluarkan oleh MA tentang pembaharuan sistem peradilan seakan menjadi "anak haram" begitu MA "menggugat" KY. fenomena esprit de corps (semangat membela korps) juga melanda sebagian besar hakim agung, mereka berlomba-lomba memback up bagir manan dalam kasus tersebut. yang sedang dinanti sekarang masyarakat adalah hasil nyata dari reformasi peradilan melalui putusan-putusan yang mengabdi kepada keadilan, bukan berbagai "action plan" seperti blue print dsb yang menghabiskan anggaran negara dan hanya sekedar "lip service" untuk mendinginkan suasana. diatas kertas konsep dalam cetak biru tersebut memang bagus tetapi akan berbalik 180 derajat ketika berbagai inkonsistensi terkuat melalui media. alhasil publik dapat menilai bagaimana keseriusan lembaga peradilan membenahi dir. salam anti mafia peradilan.
Zamrony SH, (Staf Indonesian Court Monitoring / Mhs s2 Notariat UGM)